Selasa, 22 April 2014

HUKUM PERJANJIAN













DISUSUN OLEH :
FACHMI PUTRI RISTANTI
(22212592)












UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI







KATA PENGANTAR
     Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan serta sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”HUKUM PERJANJIAN”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar.
     Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun lebih baik lagi.  Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Bekasi, April 2014
Penyusun





 
 



BAB I
PENDAHULUAN


I.                    LATAR BELAKANG

     Dalam buku III B.W berjudul “Perihal Perikatan”, perkataan “perikatan”(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luar dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan/perjanjian yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Tetapi, sebagian besar dari buku III di tujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian.

    II.            RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai hukum perjanjian antara lain meliputi persoalan:
1.      Hubungan antara perjanjian dan perikatan
2.      Sistem terbuka dan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian
3.      Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
4.      Kebatalan dan pembatalan suatu perjanjian
5.      Lahir dan hapusnya suatu perjanjian
6.      Resiko,wanprestasi,dan akibatnya









BAB II
ISI


 [1]      Hubungan antara perjanjian dan perikatan 

     Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHP).  Oleh karena itu perjanjian timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan Perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perkataan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya.Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengundang janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan.
     Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu melibatkan perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan  disamping sumber lainnya.      Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya perkataan “kontrak” lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yag tertulis.
Bentuk perikatan yang agak lebih rumit :
A.      Perikatan bersyarat  yaitu Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Kemudian perikatan bersyarat itu dibagi menjadi atas dua bagian yaitu :

·         Perikatan dengan syarat tangguh
Perikatan lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu.

·         Perikatan dengan suatu syarat batal
Suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir atau batal apabila yang dimaksud itu terjadi. 


[2]      Sistem terbuka dan asas konsensualitasdalam hukum perjanjian

     Didalam buku III B.W terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya suatu perikatan, macam perikatan dsb. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai Perjanjian-perjanjian yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa, maatchap, pemberian(schenking)dsb.
     Buku III itu  menganut asas kebebasan dalam hal menganut perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Tetapi dari peraturan ini dapat di simpulkan bahwa orang yang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
     Sistem yang dianut oleh buku ini itu juga lazim dinamakan sistem terbuka yang merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh buku III perihal hukum perbedaan. Disitu orang tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak perbendaan lain, selain dari yang diatur dalam B. W. Sendiri. Disitu dianut suatu sistem tertutup.

Adapun asas konsensualitas dalam hukum perjanjian menurut teori pernyataan yaitu:
a)      Perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian di anggap telah tercapai, apabila yang dikeluarkan oleh pihak diterima oleh pihak lain. 

b)      Teori penawaran bahwa perjanjian lahir pada detik terimanya suatu penawaran ( offerte). Apabila seorang melakukan penawaran dan penawaran tersebut di terima oleh orang lain secara tertulis maka perjajian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak lainnya.


[3]      Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian 

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Pasal 1320 kitab undang-undang perdata (burgelijike wotboek) untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk mereka yang membuat suatu perjanjian
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal.

Unsur Perjanjian
   Aspek Kreditur atau disebut aspek aktif :
  1). Hak kreditur untuk menuntut supaya pembayaran dilaksanakan;
  2). Hak kreditur untuk menguggat pelaksanaan pembayaran
3). Hak kreditur untuk melaksanakan putusan hakim.

   Aspek debitur atau aspek pasif terdiri dari :
1) Kewajiban debitur untuk membayar utang;
2) Kewajiban debitur untuk bertanggung jawab  terhadap gugatan kreditur
3) Kewajiban debitur untuk membiarkan barang-  barangnya dikenakan sitaan eksekusi


[4]      Kebatalan dan pembatalan suatu perjanjian
     Pembatalan ini pada umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjan sebelum dibuat. Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undanbg itu untuk melindungi suatun pihak yang membuat perjanjian sebagai mana halnya dengan orang-orang yang masih dibawah umur/dalam hal telah terjadi suatu paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dapat dituntut oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Penuntutan pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian yang dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan setelah waktu lima tahun, waktu mana dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung mulai hari orang itu telah menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena kekhilafan atau penipuan dihitung mulai hari dimana kekhilafan atau penipuan ini diketahuinya. penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh hakim jika terrnyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang rugikan.
      Akhirnya, selain dari apa yang diatur dalam B.W. yang diterangkan diatas ini, ada pula kekuasaan yang oleh organisasi woeker (stbl. 1938-5240) diberikan pada hakim untuk membatalkan perjanjian, jika ternyata antara kedua belah pihak telah diletakan kewajiban timbal balik yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula satu  pihak berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.


[5]      Lahir dan hapusnya suatu perjanjian
A.    Perikatan-prikatan yang lahir dari perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang harus terpenuhi empat syarat yaitu:
1.          Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya
2.          Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.          Suatu hal tertentu yang diperjanjikan
4.          Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya yang tidak terlarang. { pasal : 1320 }
     Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada oorzak (caosa) yang diperbolehkan. Secara leterlijk kata oorzaak atau caosa beraarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Misalnya, dalam suatu perjanjian jual beli satu phak akan menerima sejumlah uang tunai dan pihak lain akan menerima bunga (rent). Dengan kata lain caosa berarti isi perjanjian itu sendiri.
B. Perihal-perihal hapusnya perikatan
Undang-undang menyebutkan 10 macam cara hapusnya perikatan, diantaranya :
(a)    Karena pembayaran
(b)   Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu disuatu tempat
(c)    Pembaharuan hutang
(d)   Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
(e)   Percampuran hutang
(f)     Hapusnya barang yang dimaksud daam perjanjian
(g)    Pembatalan perjanjian
(h)   Akibatnya berlakunya suatu syarat pembatalan
(i)      Lewat waktu


[6] Resiko, wanprestasi, dan akibatnya
     Kata resiko yaitu kewajiban untuk memikul kerugian jika kalau ada suatu kerugian,  dan jika kalau ada suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Dalam pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu sejak itulah perjanjian menjadi tanggung jawab orang yang menagih atau penyerahannya. Yang dimaksud dari kata penyerahannya adalah salah satu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada satu pihak saja. Misalnya, jika ada seorang menjanjikan seekor kuda dan kuda itu belum diserahkan kemudian mati karena tersambar petir maka perjanjian dianggap hapus. Orang yang menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan.

      Dan ia pun tidak usah memberikan suatu kerugian dan orang yang menerima kuda itu akan tetapi menurut pasal tersebut bila si berhutang itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya maka sejak saat itu resiko berpindah diatas pundaknya meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan resiko itu.  Resiko dalam perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu dinamakan perjanjian timbal balik. Menurut pasal 1460 dalam suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan sipembeli meskipun ia belum diserahkan dan masih berada ditangan penjual. Dengan demikian, jika barang itu dihapus bukan karena salahnya sipenjual, sipenjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar. 

     Dalam pasal 1545 menetapkan bahwa jika dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan. Sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran yang dianggap dengan sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta kembali barang itu . dengan kata lain resiko disini diletakkan diatas pundak pemilik barang itu sendiri dan hapusnya barang sebelum penyerahan membawa pembatalan perjanjian. Berhubung dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu,menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit , sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang yang sudah dibeli. Tetapi belum diserahkan hapus sebagaimana telah diterangkan seorang debitur yang lalai , melakukan “wanprestasi” dapat digugat didepan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. seorang debitur dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya/memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. hal kelalaian/wanprestasi pada pihak si berhutang ini dinyatakan secara resmi yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berhutang itu menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.




BAB III
PENUTUP


Kesimpulan dan Saran 

     Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

     Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.



DAFTAR PUSTAKA
  1. Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,  Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
  2. Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar