DISUSUN
OLEH :
FACHMI
PUTRI RISTANTI
(22212592)
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan,
tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah
Tuhan serta sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya
yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul ”HUKUM PERJANJIAN”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis
yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari
kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.
Bekasi,
April 2014
Penyusun
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Dalam
buku III B.W berjudul “Perihal Perikatan”, perkataan “perikatan”(verbintenis)
mempunyai arti yang lebih luar dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku
III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber
pada suatu persetujuan/perjanjian yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perikatan yang
timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwarneming). Tetapi, sebagian besar dari buku III di tujukan
pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi
berisikan hukum perjanjian.
II.
RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai
hukum perjanjian antara lain meliputi persoalan:
1. Hubungan
antara perjanjian dan perikatan
2. Sistem
terbuka dan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian
3. Syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian
4. Kebatalan dan
pembatalan suatu perjanjian
5. Lahir dan
hapusnya suatu perjanjian
6. Resiko,wanprestasi,dan
akibatnya
BAB II
ISI
[1] Hubungan antara perjanjian
dan perikatan
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana satu orang atau satu pihak berjanji
kepada seorang atau pihak lain dan dimana dua orang atau dua pihak itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHP). Oleh karena itu perjanjian timbulnya suatu
hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan
Perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perkataan antara dua orang atau
dua pihak yang membuatnya.Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu
rangakaian perkataan yang mengundang janji atau kesanggupan yang ditulis atau
diucapkan.
Dengan
demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
melibatkan perikatan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan
disamping sumber lainnya. Suatu
perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya perkataan “kontrak” lebih sempit karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yag tertulis.
Bentuk perikatan yang agak lebih rumit :
A. Perikatan bersyarat yaitu Suatu
perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih
belum tentu akan atau tidak terjadi. Kemudian perikatan bersyarat itu dibagi
menjadi atas dua bagian yaitu :
·
Perikatan dengan syarat tangguh
Perikatan lahir hanya apabila
peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya
peristiwa itu.
·
Perikatan dengan suatu syarat
batal
Suatu perikatan yang
sudah lahir, justru berakhir atau batal apabila yang dimaksud itu terjadi.
[2] Sistem terbuka dan asas konsensualitasdalam hukum perjanjian
Didalam
buku III B.W terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian umum dan suatu
bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi
perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya suatu
perikatan, macam perikatan dsb. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan
mengenai Perjanjian-perjanjian yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya
jual beli, sewa-menyewa, maatchap, pemberian(schenking)dsb.
Buku
III itu menganut asas kebebasan dalam hal menganut perjanjian (beginsel der
contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 yang menerangkan
bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Tetapi dari peraturan ini dapat di simpulkan bahwa
orang yang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar
ketertiban umum atau kesusilaan.
Sistem
yang dianut oleh buku ini itu juga lazim dinamakan sistem terbuka yang
merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh buku III perihal hukum perbedaan.
Disitu orang tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak
perbendaan lain, selain dari yang diatur dalam B. W. Sendiri. Disitu dianut
suatu sistem tertutup.
Adapun asas konsensualitas dalam hukum perjanjian
menurut teori pernyataan yaitu:
a) Perjanjian lahir
sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat
yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian di anggap telah tercapai, apabila
yang dikeluarkan oleh pihak diterima oleh pihak lain.
b) Teori
penawaran bahwa perjanjian lahir pada detik terimanya suatu penawaran (
offerte). Apabila seorang melakukan penawaran dan penawaran tersebut di terima oleh
orang lain secara tertulis maka perjajian harus dianggap lahir pada saat pihak
yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak lainnya.
[3]
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Pasal 1320 kitab undang-undang perdata
(burgelijike wotboek) untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan
untuk mereka yang membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab
yang halal.
Unsur Perjanjian
Aspek Kreditur atau disebut aspek aktif :
1). Hak kreditur untuk menuntut supaya pembayaran dilaksanakan;
2). Hak kreditur untuk menguggat pelaksanaan pembayaran
3). Hak kreditur untuk
melaksanakan putusan hakim.
Aspek debitur atau aspek pasif terdiri dari :
1) Kewajiban debitur
untuk membayar utang;
2) Kewajiban debitur
untuk bertanggung jawab terhadap gugatan kreditur
3) Kewajiban debitur
untuk membiarkan barang- barangnya dikenakan sitaan eksekusi
[4]
Kebatalan dan pembatalan suatu perjanjian
Pembatalan
ini pada umumnya berakibat bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan
seperti pada waktu perjanjan sebelum dibuat. Kalau yang dimaksudkan oleh
undang-undanbg itu untuk melindungi suatun pihak yang membuat perjanjian sebagai
mana halnya dengan orang-orang yang masih dibawah umur/dalam hal telah terjadi
suatu paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dapat
dituntut oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Penuntutan
pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
yang dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan setelah waktu lima tahun,
waktu mana dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum
dewasa dihitung mulai hari orang itu telah menjadi dewasa dan dalam hal suatu
perjanjian yang dibuat karena kekhilafan atau penipuan dihitung mulai hari
dimana kekhilafan atau penipuan ini diketahuinya. penuntutan pembatalan akan
tidak diterima oleh hakim jika terrnyata sudah ada penerimaan baik dari pihak
yang rugikan.
Akhirnya, selain dari apa yang diatur dalam B.W. yang diterangkan diatas
ini, ada pula kekuasaan yang oleh organisasi woeker (stbl. 1938-5240) diberikan
pada hakim untuk membatalkan perjanjian, jika ternyata antara kedua belah pihak
telah diletakan kewajiban timbal balik yang satu sama lain jauh tidak seimbang
dan ternyata pula satu pihak berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau
dalam keadaan terpaksa.
[5] Lahir dan hapusnya suatu
perjanjian
A. Perikatan-prikatan yang
lahir dari perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang harus terpenuhi
empat syarat yaitu:
1.
Perizinan yang bebas dari
orang-orang yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
3.
Suatu hal tertentu yang
diperjanjikan
4.
Suatu sebab (oorzaak) yang halal,
artinya yang tidak terlarang. { pasal : 1320 }
Selanjutnya
undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada oorzak (caosa)
yang diperbolehkan. Secara leterlijk kata oorzaak atau caosa beraarti sebab,
tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan apa
yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Misalnya,
dalam suatu perjanjian jual beli satu phak akan menerima sejumlah uang tunai
dan pihak lain akan menerima bunga (rent). Dengan kata lain caosa berarti isi
perjanjian itu sendiri.
B. Perihal-perihal hapusnya perikatan
Undang-undang menyebutkan 10 macam cara
hapusnya perikatan, diantaranya :
(a) Karena pembayaran
(b) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak
dibayarkan itu disuatu tempat
(c) Pembaharuan hutang
(d) Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
(e) Percampuran hutang
(f) Hapusnya barang yang dimaksud daam perjanjian
(g) Pembatalan perjanjian
(h) Akibatnya berlakunya suatu syarat pembatalan
(i) Lewat waktu
[6] Resiko, wanprestasi, dan akibatnya
Kata resiko yaitu kewajiban untuk memikul
kerugian jika kalau ada suatu kerugian, dan jika kalau ada suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam
perjanjian. Dalam pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai
pemberian suatu barang tertentu sejak itulah perjanjian menjadi tanggung jawab
orang yang menagih atau penyerahannya. Yang dimaksud dari kata penyerahannya
adalah salah satu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada satu pihak
saja. Misalnya, jika ada seorang menjanjikan seekor kuda dan kuda itu belum
diserahkan kemudian mati karena tersambar petir maka perjanjian dianggap hapus.
Orang yang menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan.
Dan
ia pun tidak usah memberikan suatu kerugian dan orang yang menerima kuda itu
akan tetapi menurut pasal tersebut bila si berhutang itu lalai dalam
kewajibannya untuk menyerahkan barangnya maka sejak saat itu resiko berpindah
diatas pundaknya meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan resiko
itu. Resiko dalam perjanjian yang
meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak yaitu dinamakan perjanjian timbal
balik. Menurut pasal 1460 dalam suatu perjanjian jual beli mengenai suatu
barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya perjanjian barang itu sudah
menjadi tanggungan sipembeli meskipun ia belum diserahkan dan masih berada
ditangan penjual. Dengan demikian, jika barang itu dihapus bukan karena
salahnya sipenjual, sipenjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum
dibayar.
Dalam pasal 1545 menetapkan bahwa jika
dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan.
Sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus diluar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran yang dianggap dengan
sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk
meminta kembali barang itu . dengan kata lain resiko disini diletakkan diatas
pundak pemilik barang itu sendiri dan hapusnya barang sebelum penyerahan
membawa pembatalan perjanjian. Berhubung dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai
kekecualian itu,menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus
ditafsirkan secara sempit , sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang
yang sudah dibeli. Tetapi belum diserahkan hapus sebagaimana telah diterangkan
seorang debitur yang lalai , melakukan “wanprestasi” dapat digugat didepan
hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. seorang
debitur dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya/memenuhinya
tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. hal kelalaian/wanprestasi pada
pihak si berhutang ini dinyatakan secara resmi yaitu dengan memperingatkan si
berhutang itu, bahwa si berhutang itu menghendaki pembayaran seketika atau
dalam jangka waktu yang pendek.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
- Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
- Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar