Tugas Softskill ke 4
Kelompok :
Etika Septiawati (22212569)
Fachmi Putri R (22212592)
Herdyana Eka Yustanti (23212421)
Nita Ratnasari (25212355)
Kelas : 4EB23
MASALAH EKONOMI DI INDONESIA
TINGGINYA BIAYA PRODUKSI
1.
Biaya
Produksi dan Upah Tenaga Kerja Tinggi Picu Deindustrialisasi
Sumber
: Indonesia Finance Today
JAKARTA
- Industri manufaktur di Indonesia berpotensi mengalami deindustrialisasi
seiring dengan tren penurunan pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Seiring
dengan itu, kenaikan upah tenaga kerja mengakibatkan biaya produksi industri
dalam negeri menjadi lebih tinggi dan tidak kompetitif dibanding negara lain.
"Tren
penurunan industri nonmigas memicu deindustrialisasi di Indonesia, dimana
gejala ini telah terlihat sejak empat hingga lima tahun yang lalu. Hal itu
salah satunya dipicu oleh industri padat karya menjadi penyumbang
deindustrialisasi terbesar di dalam negeri seiring dengan upah tenaga kerja
saat ini yang cukup tinggi," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada IFT.
Selain
itu, dia juga menilai, biaya produksi tinggi mengakibatkan hasil produksi dalam
negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk
impor. Sehingga pada akhirnya, banyak orang yang berpikir untuk mengambil
langkah melakukan impor dibanding mendirikan pabrik.
"Biaya
tidak kompetitif itu mengakibatkan banyak industri gulung tikar atau merelokasi
usaha mereka. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga terjadi penurunan
pertumbuhan industri. Saat ini, industri yang ada dan mampu berkembang di Tanah
Air adalah industri padat modal dan berteknologi. Namun industri tersebut
cenderung sedikit menyerap tenaga kerja," ujar dia.
Berdasarkan
data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sempat
menyentuh level tertinggi pada 2011 sebesar 6,49%, kemudian melambat pada
tahun-tahun berikutnya. Pada 2012, industri pengolahan non-migas tumbuh 6,42%,
lalu turun menjadi 6,1% di 2013 dan 5,34% pada 2014.
Penurunan
pertumbuhan industri ini berpengaruh pada penurunan daya saing industri sebagai
ancaman utama deindustrialisasi di Indonesia. Data World Economic Forum (WEF)
dalam Global Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing
Indonesia masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean.
Data
WEF menempatkan Indonesia di peringkat 35 dari 144 negara yang disurvei.
Meskipun peringkat tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya,
daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand yang berada di peringkat
31, Malaysia di peringkat 20, dan Singapura yang ada diperingkat 2.
Meski
demikian, menurut Haryadi, deindustrialisasi tidak perlu dikhawatirkan bila
melihat komitmen investasi dan pembangunan industri saat ini. Pasalnya kini
banyak pelaku usaha yang membeli lahan di kawasan industri, meski untuk
realisasinya masih membutuhkan waktu.
Dengan
begitu, dia berharap, tren pembelian lahan dan pembangunan industri itu
terealisasi, maka ke depan akan ada titik balik untuk pertumbuhan industri.
Meski untuk mencapai titik balik pertumbuhan industri tersebut juga bergantung
pada kebijakan pemerintah seperti dari segi upah tenaga kerja dan pemerataan
pembangunan infrastruktur, seperti listrik di seluruh wilayah Indonesia, agar
investasi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Harjanto,
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian,
membenarkan mengenai adanya kecenderungan penunan pertumbuhan industri sejak
2012. Penurunan pertumbuhan industri, kata Harjanto, seiring dengan dengan
penurunan ekspor dan impor.
Kendati
demikian, sepanjang tahun ini Kementerian Perindustrian menargetkan industri
non-migas bisa kembali tumbuh di kisaran 6,8% atau di atas rata-rata
pertumbuhan ekonomi.
Sementara
untuk meningkatkan daya saing, pemerintah berupaya mendorong industri untuk
bisa memenuhi indeks standar daya saing yang mencakup masalah energi, mendorong
efisiensi dan sebagainya.
Kesimpulan
: Seharusnya pemerintah bisa membantu untuk menangani masalah tingginya biaya
produksi dalam industri padat karya. Masalah ini kalau tidak ditangani dengan
serius akan menimbulkan banyaknya produk-produk yang di impor dari luar negeri,
karena di Indonesia menghasilkan produk-produk yang harganya lebih tinggi dari
pada produk yang di hasilkan oleh negara luar. Sehingga kebanyakan orang lebih
memilih untuk membeli produk impor di bandingkan dengan mendirikan pabrik
sendiri . Penurunan pertumbuhan industri di Indonesia berpengaruh kepada daya
saing industri, terlihat dari data World Economic Forum (WEF) dalam Global
Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia
masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean. Indonesia mendapat
peringkat 35 meskipun peringkat tersebut lebih baik dari pada tahun sebelumnya
seharusnya Indonesia bisa mengalahkan peringkat Singapura yang berada di posisi
ke 2 kalau diliat dari banyaknya sumber daya alam dan sumber daya manusia,
karena negara Indonesia lebih banyak memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Meskipun akhir-akhir
ini banyak pelaku usaha membeli lahan-lahan di wilayah industri peranan
pemerintah pada saat ini sangat dibutuhkan karena pemerintah bisa membantu
untuk mendukung dan memotivasi pelaku usaha di Indonesia agar mereka lebih
memilih untuk membangun pabrik dalam hal industri padat karya.
2.
Biaya
Produksi Tinggi, Industri Sepatu RI Kalah Saing dari Vietnam
Jakarta -Dalam
pertemuan dengan para pengusaha sepatu di Jawa Timur hari ini, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) menerima keluhan tentang lemahnya daya saing industry sepatu
Indonesia dibandingkan dengan negara lain, khususnya Vietnam.
Menurut
perhitungan para investor, kenaikan UMK tahun 2016 membuat biaya produksi
sepatu di Indonesia menjadi lebih tinggi 20%-25% dibandingkan Vietnam.
"Mereka
menjelaskan akibat tingginya biaya produksi tersebut menjadikan buyer mereka
memindahkan orderke Vietnam yang daya saingnya lebih bagus," ungkap
Kepala BKPM Franky Sibarani dalam keterangan tertulis kepada detikFinance,
di Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Selain
biaya produksi yang lebih rendah, industri sepatu di Vietnam juga memiliki
akses pasar lebih luas dibanding Indonesia. Sebab, Vietnam sudah menandatangani
perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Negara yang baru selesai perang
tahun 1979 itu juga sudah bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP).
"Daya
saing ekspor di mana Vietnam unggul 9% dari Indonesia dengan keberadaan
perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan keanggotaan Vietnam dalam
TPP," Franky menambahkan.
Hal
lain yang menjadi sorotan investor sepatu di Jawa Timur adalah Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 87/2015 (Permendag 87/2015) tentang Ketentuan Impor
Produk Tertentu. Menurut para pengusaha, aturan tersebut kontraproduktif dengan
visi industralisasi pemerintah.
Franky
berjanji akan segera berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong
terkait aturan tersebut.
"Pengusaha
mengilustrasikan bahwa produsen yang mempekerjakan ribuan karyawan, memberikan
nilai tambah harus menempuh perizinan yang sulit, misalnya sekitar 200 izin
terkait konstruksi dan operasi, investasi dengan nilai besar, terikat dengan banyak
izin pusat maupun daerah, harus comply dengan berbagai aturan.
Sementara membuat perusahaan trading cukup 25 orang, sewa gudang,
modal alat transportasi pengangkut sudah bisa meraup untuk besar karena
sekarang bebas impor berbagai macam produk," pungkas Franky.
(hns/hns)
Kesimpulan:
Seharusnya negara Indonesia bisa melihat contoh dari negara Vietnam karena
negara tersebut sangat maju dalam hal membuat produksi sepatu. Negara Vietnam
lebih memberikan kualitas yang bagus dengan harga yang lebih murah dibandingkan
harga sepatu di Indonesi karena Indonesia semenjak terjadinya kenaikan UMK
mengalami kenaikan yang tinggi dalam memproduksi sepatu. Negara Vietnam juga
memiliki akses pasar yang lebih luas dengan cara menandatangani perjanjian
perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Dengan menandatangani perjaijian tersebut
Vietnam lebih unggul sebesar 9% dibandingkan Indonesia. Seharusnya Menteri Perdagangan
lebih mendukung pengusaha melakukan ekspor kepada negara lain jangan memberikan
peraturan yang membolehkan melakukan impor pada produk tertentu saja dengan
demikian Indonesia bisa jauh lebih baik dan dapat memberikan kemudahan dalam
masalah perizinan. Menteri Keuangan memberikan peraturan yang sangat
menyulitkan pengusaha untuk mempekerjakan karyawan.
3.
Biaya
Produksi Bahan Pangan Tinggi
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Tingginya biaya produksi mulai dirasakan petani. Anomali cuaca dan
isu kenaikan bahan bakar minyak membuat harga sejumlah komoditas melonjak.
"Naiknya bisa sampai 30 persen," ujar petani kentang di dataran tinggi
Dieng, Mudasir, Jumat (21/6).
Di
daerah Dieng, Jawa Tengah, misalnya, panjangnya jarak tempuh membuat petani
harus mengeluarkan dana lebih. Biaya transportasi untuk mengangkut kentang
mengalami kenaikan lebih dari Rp 3.000 per karung. Jarak tempuh yang jauh juga
disebabkan oleh ditutupnya beberapa akses jalan karena sedang dibangun.
Ia
menambahkan, tanah yang basah pun menyebabkan petani enggan melakukan penanaman
karena risiko besar. Biaya untuk membeli pestisida juga harus ditambah hingga
30 persen agar tanaman kuat menghadapi kemarau basah. Dalam kondisi normal,
bulan Mei dan Juni merupakan waktu ideal untuk mulai menanam. Belum dipastikan
berapa jumlah kerugian yang diderita petani akibat faktor cuaca.
Saat
ini, kentang di tingkat petani dihargai Rp 6.500 per kg. Satu hektare (ha)
lahan biasanya mampu menghasilkan sekitar 12 hingga 15 ton kentang. Kini,
produksi kentang pada satu ha lahan hanya sekitar 10 hingga 11 ton. Selain
kentang, produksi bawang merah juga menurun akibat anomali cuaca. Iklim basah
membuat lahan diserbu organisme pengganggu tanaman (OPT) bertubi-tubi. Satu ha
lahan yang normalnya menghasilkan 15 ton bawang merah, kini hanya mampu
memproduksi sekitar 8 ton bawang merah.
Ketua
Asosiasi Bawang Merah (ABMI) Asmawi Isa mengatakan, petani harus mengeluarkan
dana yang sangat besar untuk memberantas hama. Untuk satu ha lahan, petani
normalnya mengeluarkan biaya obat-obatan sekitar Rp 20 juta. Kini, minimal Rp
35 juta harus dikeluarkan untuk satu ha lahan. "Ongkos pemeliharaannya
mahal, kualitas bawangnya juga kurang bagus," katanya.
Satu
kilogram bawang merah bermutu baik dihargai Rp 20 ribu hingga Rp 23 ribu per
kg. Sedangkan, bawang merah minim mutu dihargai Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu
per kg. Ismawi mengatakan, masih banyak petani kecil yang memilih melakukan
penanaman daripada menganggur menunggu cuaca yang lebih baik.
Harga
bawang di tingkat petani masih stabil, beda dengan tren kenaikan harga di
tingkat konsumen. Di pasar, menurutnya, harga bawang merah sudah membengkak
menjadi tiga kali lipat. Pemerintah pun diimbau agar membantu menstabilkan
harga mengingat sebentar lagi datang bulan Ramdahan. "Tapi, bukan dengan
jalan impor," ujarnya menegaskan.
Menteri
Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan mengatakan, produksi kentang harus dipantau
ketat. Kemarau basah menyebabkan produksi merosot, termasuk di sentra kentang
seperti Dieng. "Semestinya pasokan dalam negeri cukup, tapi di Dieng dan
tempat-tempar lain agak basah. Nah, ini yang harus diantisipasi," katanya
ditemui di Kemendag, Jumat (21/6).
Namun,
pihaknya memastikan belum berencana membuka keran impor kembali untuk komoditas
apa pun. Ia pun belum memastikan terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen.
Kenaikan harga, menurutnya, akan terjadi apabila distribusi dan pasokan
mengalami kekurangan. Untuk saat ini, pengusaha berkomitmen bahwa pasokan
domestik cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. n meiliani fauziah ed:
irwan kelana.
Kesimpulan
: Seharusnya pemerintah bisa lebih memperhatikan para petani dengan cara dapat
menekan tingginya pembelian pupuk dan pestisida untuk mencegah dan memberantas
hama (OPT) karena biaya pembelian hama sangat besar yang dikeluarkan oleh para
petani, selain itu pemerintah juga harus menekan tingginya biaya yang
dikeluarkan untuk transportasi. Meskipun di pasar harga sejumlah komoditas
seperti kentang, bawang merah mengalami kenaikan tetapi kenaikan harga tersebut
tidak dirasakan oleh para petani. Sehingga dengan adanya perubahan iklim
seperti saat ini dengan harga yang sangat tinggi untuk bercocok tanam seperti
menanam kentang dan bawang merah dirasakan sangat beresiko untuk para petani. Petani
sangat mengalami kerugian, karena perubahan iklim tersebut membuat hasil panen
sangat merosot/ berkurang dan kualitas yang dihasilkan kurang bagus sehingga petani
hanya dapat menjual hasil panen tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi
. Meskipun demikian pemerintah belum memutuskan untuk melakukan impor dari luar
negeri untuk komoditas apapun.
Referensi :